Entah apa yang harus aku katakan lagi, paling teman-teman lamaku tidak akan mempercayainya..apalagi mereka yang sejak kecil mengetahui siapa dan bagaimana aku. Ya..aku sedih, takut, cemas, tertekan, depresi dan segala macam rasa itu bercampur aduk menjadi satu – yang bahkan sebelumnya bukan hal yang patut untuk dipertimbangkan – bahkan meski diingatkan oleh orang lain sebelum aku mengambil sebuah keputusan atau melakukan tindakan apapun.

Tidak jarang teman-teman dekatku semasa kuliah menjuluki aku sebagai orang yang kontroversial, sehingga jika tidak melakukan tindakan atau mengambil keputusan yang “mengagetkan” dianggap bukan saya lagi…menyedihkan!?

Tetapi saat ini..aku harus benar-benar membuat pengakuan yang jujur kepada diriku sendiri. Jika dahulu aku merasa seolah-olah seperti Bruce Wilis yang memerankan “jagoan” dalam Die Hard dalam setiap tindakanku – kini hal itu telah sirna dan seperti menguap entah kemana dan mengapa. Aku merasa mulai “melemah”, tidak sehebat dulu lagi. Ya, jika dulu saya dengan berani menghadapi berbagai situasi bahkan seperti “nothing to loose” – seperti layaknya Timnas Indonesia All Star andai kemarin jadi bertanding dengan “Si Setan Merah” Manchester United (MU) – sekarang justru sebaliknya. Bukan lantas saya merasa seperti MU dengan siap menghadapi Indonesia All Star, tetapi lebih seperti tim tanpa misi dan kepercayaan diri…

Semua itu berawal dari rencana mendadak (yang sebetulnya sudah cukup lama dipikirkan..) kepindahan saya dan keluarga ke Muntilan, sebuah kota kecil di Kabupaten Magelang yang terkenal dengan jajanan khas tape ketan dan wajik-nya. Saat ini saya telah seminggu lebih (tepatnya  10 hari) pindah mukim dari Kota Yogyakarta ke Muntilan. Karena istri saya kebetulan orang sana, dan kebetulan juga setelah ibu mertua meninggal – istri saya mendapat “warisan sosial” berupa TK/PAUD yang sebelumnya baru saja dirintis oleh almarhumah ibu. Kebetulan saudara-saudara yang lain juga telah mendapatkan amanah masing-masing, tinggal istri saya yang belum – jadilah akhirnya dia mendapat tugas menjadi kepala sekolah di sana.

Dahulu, tepat setahun yang lalu ketika ibu meninggal istri saya berjanji untuk pindah ke Muntilan dan mengemban tugas sebagai pengurus TK/PAUD tersebut jika putri pertama kami memasuki sekolah dasar (SD) sehingga sekalian pindah komunitas. Kini, putri kami telah menjadi murid kelas 1 sebuah SD negeri di Gunung Pring – Muntilan.

Itulah awal-mula dari pengakuan ini..jika sebelumnya saya hanya berkomentar singkat dengan mengatakan bahwa “saya bisa hidup dimanapun saya berada” – I Will Survive…hehehe .. agak takabur memang. Bukan sesuatu yang luar biasa bagi saya untuk berpindah tempat tinggal, meski sebelumnya telah tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1995 dan mulai menetap sebagai sebuah keluarga kurang lebih 5 tahun yang lalu – dan bahkan sampai saat ini saya masih tercatat sebagai penduduk dan ketua RT di sana. Saya justru beralasan bahwa yang perlu menjadi perhatian adalah putri kami, apakah dia akan betah pada komunitas barunya nanti?

Seperti ditampar saja rasanya muka ini..bagaimana tidak?! anak saya yang telah lebih dulu pindah ke Muntilan karena harus masuk sekolah, menjawab dengan ceria, senang dan bahkan tanpa beban sama sekali ketika saya bertanya, “Nak, apa kamu senang sekolah disini?”, sungguh diluar perhitungan rasio dan logika saya yang selama ini saya anggap hebat..!!? Seorang anak perempuan berumur 6 tahun kurang 2 bulan yang sebelumnya bersekolah di TK swasta di Yogyakarta, kemudian harus masuk SD karena sudah terlalu lama berada di PAUD dan TK (karena dulu kami sama-sama bekerja sehingga sejak kecil dia dititipkan di TPA). Saya khawatir dia akan mengalami depresi dengan lingkungan barunya, disamping umurnya seharusnya belum mencukupi syarat administratif untuk masuk SD negeri – tetapi itu tetap harus kami lakukan karena bingung harus disekolahkan dimana selain TK dan SD?

Akhirnya, sekarang saya harus mengakui dengan sejujurnya bahwa sebenarnya sayalah yang mengalami “stress dan depresi” dengan kepindahan ini. Pertama, saya merasa terlalu mencemaskan orang-orang yang saya cintai. Kedua, saya harus kehilangan (sementara) akses kepada teman-teman, pekerjaan dan komunitas di Yogyakarta. Ketiga, Muntilan bukanlah sebuah kota impian untuk tempat menetap saya – seperti halnya Cilacap yang notabene tempat lahir saya. Bukan tanpa sebab, saya merasa bahwa saya kurang bisa mengaktualisasi diri di dua kota di Jawa Tengah tersebut.

Tetapi sebagai seorang yang menganggap diri sebagai “agen perubahan”, tentu saja malu kalau harus mengakui bahwa saya takut untuk menghadapi kenyataan dan “perubahan” dalam hidup saya. Sedangkan hidup saya selama ini sudah seperti “roller coaster” – banyak tikungan, tanjakan dan jalan curam menurun deras…dan saya selalu selamat..seolah-olah punya keberuntungan tanpa batas. Tetapi saat ini..mengapa hal itu tidak lagi bekerja pada diri saya. Keyakinan atau keberanian menempuh tantangan itu semakin menurun dan bahkan seperti hilang. Saya ketakutan setengah mati..bagaimana saya akan menjalani hidup ini? apa yang akan saya kerjakan? darimana sumber penghasilan saya?

Saat ini saja saya sudah beberapa kali jatuh sakit – yang saya yakin penyebabnya bukan semata-mata perubahan cuaca yang ekstrim atau menurunnya kondisi tubuh saya – tetapi lebih karena kondisi psikis atau mental yang tidak begitu siap dengan kenyataan dan kondisi baru tersebut. Atau karena saya tidak terbiasa (lagi) naik sepeda motor – sementara saat ini “mobil butut” saya yang selama ini setia selama 4 tahun lebih mengantar kemanapun saya pergi – sedang opname dan rehab berat di bengkel sehingga saya terpaksa harus menjadi “bikers” lagi, padahal dulu saya adalah bikers yang dengan senang hati melakukan tur bersama kawan-kawan semasa kuliah.

Akhir kata, yang saya butuhkan saat ini adalah betul-betul sebuah pernyataan jujur bahwa saya sedih, kecewa, ketakutan dan tertekan..mengalami depresi yang sebenarnya cukup berat – tapi coba ditutupi dengan “keberanian semu” yang dulu pernah sangat ampuh menjadi senjata pamungkas saya dalam setiap permasalahan. Tapi saya melupakan sesuatu..dulu saya adalah seorang “pemuda nekat” yang siap menghadapi apaun dengan semangat “fearless” alias no fear…!? tetapi hari ini..saya adalah ayah dari dua orang anak kecil yang sedang lucu-lucunya, seorang suami dari seorang perempuan yang dengan rela menyerahkan hatinya untukku.

Saya tidak bisa lagi mengandalkan modal nekad – tetapi saya belum mampu mengatasi “rasa takut” yang memang seharusnya tetap ada bahkan pada diri seorang “ksatria sejati”. Pemberani yang sesungguhnya bukanlah “makhluk tanpa rasa takut” – tetapi menguasai dan mengendalikan ketakutan untuk lebih berhati-hati dan bersiap atas segala situasi, demikian kata para bijak. Cukuplah untuk saat ini saya mengakui bahwa saya sedih dan takut…itu sudah jauh lebih baik. Mudah-mudahan ini bukan berarti saya sedang mengalami penurunan atau mulai melemah, justru inilah jalan untuk menjadi sang ksatria sejati…yang dalam wujud manusianya tetap memiliki air mata….???!